Sebelum membahas hukum wakaf
tunai, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menetapkan salah satu
syarat wakaf adalah harta yang diwakafkan harus bersifat tetap (tsabit), yaitu barang tersebut bisa dimanfaatkan tanpa merubah bentuknya. Barang tetap (tsabit) ini terbagi menjadi dua; pertama: barang yang tidak bisa dipindah-pindahkan (ghairu al-manqul), seperti tanah dan bangunan, kedua: barang yang bisa dipindahkan (al-manqul).
Mereka sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang (ghairu al-manqul), tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum wakaf barang yang bisa dipindah (al-manqul). Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:
Pendapat Pertama: Tidak boleh wakaf dengan barang al-manqul secara mutlak. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan riwayat dari imam Ahmad.
Pendapat Kedua: Boleh wakaf dengan barang al-manqul, jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan, seperti wakaf senjata. Ini pendapat Abu Yusuf.
Pendapat Ketiga: Boleh wakaf dengan barang al-manqul jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul,
atau jika terdapat dalil yang menyebutkan hal tersebut, seperti wakaf
senjata atau dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat
bahwa barang tersebut diwakafkan. Ini pendapat Muhammad al-Hasan.
Dasarnya adalah Istihsan bi al-‘Urfi, (kebiasan masyarakat), seperti wakaf buku untuk para penuntut ilmu dan wakaf mushaf al-Qur’an untuk masyarakat.
Oleh karena itu, jika mewakafkan barang
yang bisa dipindahkan tetapi belum membudaya di masyarakat, hukumnya
kembali ke asal, yaitu tidak boleh. Pendapat Muhammad al-Hasan ini
bertentangan dengan pendapat Abu Yusuf. Tetapi yang dijadikan fatwa dan
qadha dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Muhammad al-Hasan. (Hasyiatu Ibn Abidin: 3/408, Fathu al-Qadir: 5/ 48)
Hukum Wakaf Tunai
Dari perbedaan pendapat ulama di atas, pendapat yang lebih
mendekati kebenaran adalah pendapat yang membolehkan wakaf al-manqul,
karena lebih dekat kemaslahatan umat.
Tetapi, para ulama yang membolehkan
wakaf al- manqul pun masih berbeda pendapat tentang hukum wakaf tunai
(uang), walaupun uang sendiri bagian dari al-manqul, tetapi uang
mempunyai sifat-sifat sendiri yang berbeda dengan sifat-sifat barang
lain. Perbedaan ulama tersebut teringkas dalam dua pendapat berikut:
Pendapat Pertama: Wakaf tunai hukumnya tidak boleh. Ini pendapat Ibnu Abidin dari Hanafiyah dan madzhab Syafi’i. (Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, 412)
Ibnu Abidin berkata: “wakaf tunai (dengan dirham) merupakan kebiasaan
yang berlaku di masyarakat Romawi, bukan dalam masyarakat kita. Begitu
juga wakaf kapak dan pisau pernah berlaku pada zaman terdahulu, tetapi
tidak lagi pernah terdengar pada zaman kita. Untuk itu, tidak sah kalau
diterapkan sekarang, seandainya-pun ada, maka sangat jarang terjadi dan
itu tidak dianggap. (Sebagaimana diketahui) bahwa yang dijadikan standar
adalah kebiasaan masyarakat yang sudah menyebar.“ (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/375) Mereka mempunyai dua alasan:
Pertama: Uang zatnya
bisa habis dengan sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dan
dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf adalah
harta yang tetap. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang
diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai.
Kedua: Uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya
Pendapat Kedua: Wakaf
tunai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Imam Zuhri, seorang ahli
hadist, Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu
Hanifah, ini juga pendapat sebagian ulama mutaakhirin dari kalangan
Hanafiyah dan sebagian ulama dari kalangan Syafii, sebagaimana
disebutkan Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir, bahwa Abu Tsaur meriwayatkan hal itu dari Imam Syafi’i.
Di bawah ini beberapa nash dari mereka :
عَنِ الزُّهْرِي قَالَ: فِيْمَنْ جَعَلَ
أَلْفَ دِيْنَارٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ دَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ
يَتَّجِرُ بِهَا، وَجَعَلَ رُبْحَهُ صَدَقَةٌ لِلْمَسَاكِيْنَ
وَالْأَقْرَبِيْنَ
Dari Imam Zuhri bahwasanya ia berkata: “
Tentang seseorang yang mewakafkan seribu dinar di jalan Allah, dan uang
tersebut diberikan kepada pembantunya untuk diinvestasikan, kemudian
keuntungannya disedekahkan untuk orang-orang miskin dan para kerabat. “ (Shahih Bukhari: 4/14)
جَاءَ فِي حَاشِيَةِ ابْنِ عَابِدِيْنَ :
وَعَنِ الْأَنْصَارِيْ ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ زُفَرِ ، فِيْمَنْ وَقَفَ
الدَّرِاهِمَ أَوْ مَا يُكَالُ أَوْ مَا يُوْزَنُ أَيَجُوْزُ ذَلِكَ؟
قَالَ: نَعَمْ، قِيْلَ: وَكَيْفَ؟ قَالَ: بِدِفْعِ الدَّرَاهِمَ
مُضَارَبَةٌ ثُمَّ يَتَصَدَّقُ بِهَا فِي الْوَجْهِ الَّذِي وَقَفَ
عَلَيْهِ
Dari Al-Anshari, dia adalah salah satu
sahabat Zufar, ditanya tentang orang yang berwakaf dengan dirham atau
dalam bentuk barang yang dapat ditimbang atau ditakar, apakah itu
dibolehkan? Al-Anshari menjawab: Iya, boleh. Mereka bertanya bagaimana
caranya? Beliau menjawab: dengan cara menginvestasikan dirham tersebut
dalam mudharabah, kemudian keuntungannya disalurkan pada sedekahan. Kita
jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah,
kemudian hasilnya disedekahkan.” (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/374)
Di dalam al-Mudawanah al-Kubra Imam Malik disebutkan:
أَوْ قِيْلَ لَهُ فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا
حَبَّسَ مِائَةَ دِيْنَاٍر مَوْقُوْفَةٍ يسْلَفَهَا النَّاسُ
وَيَرُدُّوْنَهَا عَلَى ذَلِكَ جَعَلَهَا حُبُسًا هَلْ تَرَى فِيْهَا
زَكَاةٌ؟ فقال: نَعَمْ أَرَى فِيْهَا زَكَاةٌ
“Ditanyakan kepada beliau tentang hukum
seorang laki-laki yang menjadikan uangnya sebesar seratus dinar sebagai
wakaf untuk dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan
dikembalikan kepadanya lagi untuk disimpan lagi, apakah harta seperti
ini terkena kewajiban zakat? Beliau menjawab: Ya, saya berpendapat
wajib dikeluarkan zakatnya. (al-Mudawanah al-Kubra: 1/ 380)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (31/234-235)
meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan
berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu
Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).
Pendapat Yang Benar
Dari dua pendapat di atas, maka
pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan
wakaf tunai hukumnya boleh, karena tujuan disyariatkan wakaf adalah
menahan pokoknya dan menyebarkan manfaat darinya. Dan wakaf uang yang
dimaksud bukanlah dzat uangnya tapi nilainya, sehingga bisa diganti
dengan uang lainnya, selama nilainya sama.
Kebolehan wakaf tunai ini telah
ditetapkan pada konferensi ke- 15, Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, No :
140 , di Mascot, Oman, pada tanggal 14-19 Muharram 1425 H/ 6-11 Maret
2004 M. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah
mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf tunai, pada tanggal 11 Mei 2002.
Wakaf Tunai juga sudah dituangkan
dalam Peraturan Menteri Agama No. 4/ 2009 dan dalam Undang-undang nomor
41 tahun 2004 diatur dalam pasal 28 sampai pasal 31. Wallahu A’lam .
DR. Ahmad Zain An Najah, MA
Pondok Melati, 2 Rajab 1413/ 22 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar