Senin, 05 Januari 2015

MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF DALAM PENINGKATAN EKONOMI UMAT

Dilihat dalam konteks kehidupan ekonomi, umat Islam selalu diidentikkan dengan kemiskinan. Sisi pandang seperti ini, kelihatan ada benarnya, disaat dipandang kenyataan masyarakat miskin dunia itu,mayoritasnya adalah umat Islam. Negara berkembang yang masih sarat dengan kemiskinan itu, umumnya adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim.
Pada hal kalau diperhatikan secara normatif, Islam sangat anti dan menolak kemiskinan. Bahkan Islam tidak membenarkan kaum sufi yang telah menerima konsep Manichaeisme dari Persia. Zuhud dalam idiom Islam bukan berarti memuji kermiskinan. Karena zuhud harus dipahami sesuai dengan maknanya yakni memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana.(Yusuf al-Qardhawi, 1995)
Banyak ayat dan hadis memandang kemiskinan sebagai bahaya yang menakutkan. Bahaya ini bisa mengancam individu dan masyarakat, akidah dan keimanan, moral dan akhlak, pemikiran dan kebudayaan. Akan tetapi kenapa kenyataan masyarakat Islam hari ini, bisa dalam realitas kehidupan dan persepsi identik dengan lemiskinan seperti itu?
Di antara penyebabnya adalah karena banyak umat Islam, dalam memahami konsep zakat, wakaf, dan sebagainya dalam perspektif yang kurang pas, sehingga berimplikasi terhadap penerapan yang kurang proporsional dan profesional. Untuk itu perumusan dan pemahaman tentang manajemen zakat dan waqaf, setidaknya bagi elite tertentu, sudah merupakan suatu hal yang seharusnya. Sehingga zakat dan waqaf ini tidak saja sebagai unsur kewajiban sikaya yang harus dibayarkan kepada simiskin, akan tetapi bagaimana agar dapat memberikan implikasi filosofis yang lebih jauh, yakni kemiskinan itu sebetulnya  tidak harus ada dalam konsep umat Islam. Dengan arti kata, kalau zakat dan waqaf itu bila dimanej secara profesional, tentunya akan menjadi sebuah kekuatan bagi ekonomi umat.
A.Zakat dalam Konsep
Sebelum dibahas tentang manejemen zakat dan wakaf, alangkah lebih baik diulas lebih dahulu bagaimana zakat dan wakaf itu dalam konsep. Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi. Sehingga keberadaannya dianggap ma’lûm min addien bi al-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak  dari keislaman seseorang.(Didin Hafidhuddin, 2004).  Di dalam al-Qur`ân terdapat kurang lebih 27 ayat yang menyejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.
Al-Qur`ân menyatakan bah-wa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketunduk-an seseorang terhadap ajaran Islam (QS. 9:5) dan (QS.9:11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup (QS.23:4), dan ciri mukmin yang akan mendapat-kan rahmat dan pertolongan Allâh SWT (QS.9:73 dan QS. 22: 40-41).  Kesedian berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu ber-keinginan untuk membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, menyucikan, dan mengembangkan harta yang dimilikinya (QS.9:103 dan QS.30:39).
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang yang enggan mengeluarkan zakat.  Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya (QS.9:34-35).  Sementara dalam kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat menurut beberapa hadis Nabi, harta bendanya akan hancur.  Dan jika keengganan ini memassal, maka Allâh SWT akan menurunkan berbagai azab, seperti musim kemarau yang panjang.  Atas dasar itu, sahabat Abdullah ibnu Mas’ud menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan shalat dan mengeluar-kan zakat.  Siapa yang tidak berzakat, tidak ada shalat baginya.  Rasulullah Saw., pernah meng-hukum Tsa’labah yang enggan berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan.  Tak ada seorang sahabatpun yang mau berhubungan dengannya,  meski hanya sekedar bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad akan meme-rangi orang-orang yang mau salat tetapi enggan untuk berzakat.  Ketegasan ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan, dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai kedurhakaan dan kemaksiatan yang lain.
Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu, karena dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahiq, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.  Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah:
Pertama, sebagai perwujud-an iman kepada Allâh SWT, mensyukuri nikmat-Nya menum-buhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan menyucikan harta yang dimiliki (QS.9:103, QS.30:39, QS.14:7).
Kedua, karena zakat meru-pakan hak bagi mustahiq, maka berfungsi untuk menolong, mem-bantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allâh SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki, dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya.  Zakat sesungguhnya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab yang men-jadikan kehidupan mereka miskin dan menderita.
Ketiga, sebagai pilar jama’i antara kelompok aghniyâ’ yang berkecukupan hidupnya dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allâh, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.  Firman Allâh dalam QS. al-Baqarah/2:273.
للفقراء الذين احصروا في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الارض يحسبهم الجاهل أغنياء من التعفف تعر فهم بسيمهم لا يسئلون الناس إلحافا وماتنفقوا من خير فإن الله به عليم.{ ا لبقرة : 273}
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allâh mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.  Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.  Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha Me-ngetahui”. (QS. al-Baqarah/2:273).
Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial-ekonomi, dan ter-lebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
والمؤمنون والمؤمنت بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلوة ويؤتون الذكوة ويطيعون الله ورسوله اولئك يرحمهم الله ان الله عزيزحكيم.{ التوبة:71}.  
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.  Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allâh  dan Rasul-Nya.  Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah/9:71).
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil (al-Hadits).  Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahtera hidupnya.
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan.  Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan economic growth with equity.  Kahf menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan  sebagai akibat dari zakat harta akan selalu beredar.
Zakat, menurut Ahmad, adalah sumber utama kas negara, sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Qur`ân. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi.
Zakat juga merupakan insti-tusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab.  Akumulasi harta ditangan se-seorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allâh SWT, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur`ân surat al-Hasyr/59:7.
......كي لا يكون دولة بين الا غنياء منكم ... {الحثر : 7}.
“.......agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu..........”(al-Hasyr/59:7).
B.Wakaf Tunai dalam Perspektif
Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Pembahasan ulama dan intelektual tentang wakaf, khusus wakaf tunai, sesungguhnya telah cukup maju, tidak hanya pada kalangan intelektual kontemporer, seperti, Monzer Kahf, Khaled R. Al-Hajeri, Abdulkader Thomas, M.A. Mannan saja,  melainkan para ulama mazhab pun tidak luput membicarakannya.   Banyak gagasan yang mereka kemukakan sudah mengantisipasi perkembangan zaman. Akan tetapi, sebelum dijelaskan lebih jauh, bagaimana wakaf tunai (uang) lebih jauh, agaknya lebih baik dijelaskan terlebih dahulu syarat-syarat benda yang diwakafkan menurut ulama fikih, yakni; pertama, harta yang diwakafkan itu harus jelas wujudnya, agar terjamin kepastian hukum dan hak orang yang menerimanya. Kedua, benda tersebut harus punya nilai ekonomis, tetap/kekal zatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus oleh mauquf alaih. Ketiga, harus milik siwaqif sepenuhnya. Bagaimana halnya pendapat ulama mazhab tentang wakaf tunai (uang)? Ulama mazhab Maliki misalnya, membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan, dan membolehkan mewakafkan uang.  Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali berpendapat bahwa baik harta bergerak, seperti mobil dan hewan, maupun harta tidak bergerak seperti rumah dan tanaman, boleh diwakafkan (Menteri Agama RI, pada pembukaan Workshop Wakaf Produktif, Batam, 2002).
Beberapa ulama terdahulu seperti az-Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat bahwa boleh me-wakafkan dinar dan dirham.  Caranya ialah menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang) kemudian menya-lurkan keuntungannya sebagai wakaf.  Menurut Mazhab Hanafi (Wahbah al-Zuhaily, 1997) bahwa uang yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya.  Keuntungan dari bagi hasil diberikan untuk kepentingan umum.
Meskipun beberapa ulama ada juga yang tidak menyetujui wakaf tunai dengan uang, seperti Ali Abidin (Anwar Ibrahim, 2002). Didin (2004), berpendapat bahwa wakaf tersebut dibenarkan dalam syariah, dengan catatan uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara, misalnya disimpan di Lembaga Keuangan Syariah yang amanah dan profesional.  Banyak sasaran yang bisa dicapai dengan wakaf tunai, seperti dikemukakan A. A. Mannan (1995) yang telah berhasil mengembangkan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh, yaitu:
1.Menjadikan perbankan seba-gai fasilitator untuk mencipta-kan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf.
2.Membantu memobilisasi ta-bungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang telah meninggal dan anak-anak serta mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya.
3.Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal.
4.Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya.
5.Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat.
6.Membantu pengembangan Social Capital Market.
7.Membantu usaha-usaha pem-bangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejah-teraan masyarakat.
C.Manajemen Zakat dan Wakaf
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allâh SWT yang terdapat dalam al-Qur`ân surat at-Taubah ayat 60 yang menjelaskan tentang kelompok yang berhak menerimanya (mustahiq) dan ayat 103 yang menjelaskan tentang pentingnya zakat untuk diambil (dijemput) oleh para petugas (amil) zakat.  Demikian pula petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Muadz Ibn Jabal ketika diutus ke Yaman, beliau mengatakan:
“.....jika mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan melak-sanakan salat, maka beritahukanlah bahwasanya Allâh SWT telah mewajibkan zakat yang diambil dari harta mereka dan diberikan kepada orang-orang fakirnya....”
Seperti telah dikemukakan di atas dan juga berdasarkan petunjuk al-Qur`ân, hadis Nabi dan pelaksanaannya di zaman Khulafa’ al-Rasyidin, bahwa pelaksanaan zakat bukanlah sekedar amal karitatif (kedermawanan), tetapi merupakan kewajiban bersifat otoritatif (ijbari). Jadi zakat tidaklah seperti shalat, shaum, dan ibadah haji yang pelaksanaannya diserahkan kepada individu masing-masing (sering disebut sebagai masalah dayyani), tetapi juga disertai keterlibatan aktif dari para petugas yang amanat, jujur, terbuka, dan profesional yang disebut amil zakat (sering disebut sebagai masalah qadha’i).
Pengelolaan zakat melalui lembaga amil zakat, menurut Didin (2002), didasarkan pada beberapa pertimbangan.  Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.  Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahiq apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari para muzakki.  Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektifitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat.  Misalnya, apakah disalur-kan dalam bentuk konsumtif ataukah dalam bentuk produktif untuk meningkatkan kegiatan usaha para mustahiq.  Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.  Sebaliknya, jika penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan kepada para muzzaki, maka nasib dan hak-hak orang miskin dan para mustahiq lainnya terhadap orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang pasti.
Asas operasional dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan di atas tidak mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdhah yang harus dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allâh SWT.  Demikian asas ikhlas dan sukarela tetap dominan dalam pelaksanaan zakat sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW., Khulafa’ al-Rasyidin, dan pemerin-tahan Islam sesudahnya.  Zakat yang sudah dikumpulkan oleh  Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ) harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan mustahiq, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur`ân surat at-Taubah  ayat 60.  karena itu LAZ harus dikelola dengan amanah, jujur, transparan dan profesional.  Dalam pasal 22 KMA Nomor 581 tahun 1999 dikemukakan bahwa LAZ yang baik memenuhi persyaratan, yaitu:
Berbadan hukum
Memiliki muzakki dan mustahiq
Memiliki program kerja
Memiliki pembukuan
Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit
Zakat yang dikumpulkan disalurkan langsung untuk kepentingan mustahiq, baik yang bersifat konsumtif, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`ân surat al-Baqarah ayat 273, maupun yang bersifat produktif sebagaimana pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan dikemukakan dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw telah memberinya pemberian (zakat) menyuruhnya untuk dikembangkan (tamawwalah) dalam kaitan itu, terdapat pendapat yang menarik dari sebagian ulama bahwa perintah (dalam hal ini BAZ dan LAZ yang amanah, terpercaya, dan profesional) diperbolehkan mem-bangun perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik dan yang lainnya dari uang zakat, untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diberikan kepada para mustahiq dalam jumlah yang relatif besar, sehingga terpenuhi kebutuhan mereka dengan lebih leluasa. Pengembangan usaha yang lainnya dapat dianalogikan kepadanya. Hanya saja, dalam pelaksanaannya perlu kesungguhan, kehati-hatian, dan kecermatan, agar jangan sampai terjadi kerugian karena kesalahan para pengelola.
Hal yang sama dapat dilakukan pula untuk wakaf, terutama wakaf uang. Kalau dilihat secara hsitoris, para penguasa Dinasti Abbasiyah kerap mendorong pengembangan wakaf sebagai sumber pendapatan dan sekaligus pembiayaan untuk pembangunan, seperti biaya pendidikan. Cara inilah yang tetap abadi, karena tetap dilanjutkan oleh negara-negara Islam saat ini, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki dan Yordania, melalui lembaga-lembaga wakafnya. Wakaf bagi negara ini, tidak saja untuk biaya pendidikan, dan kesehatan masyarakat, melainkan juga dapat membangkitkan ekonomi masyarakat, karena menurut hemat mereka wakaf dapat dikelola dalam bentuk saham, usaha-usaha produktif, seperti real estate, pertanian, dsbnya, yang dikelola oleh lembaga-lembaga ekonomi yang profesional. (Budi Setyanto, 2003).
Hanya saja di samping dikelola oleh lembaga yang amanah, menurut Didin (2004), kerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah, seperti  Bank Syariah merupakan suatu keniscayaan. Bagaikan yang terdapat pada negara Mesir. Badan Wakaf yang dibentuk oleh pemerintah Mesir, ,emitipkan hasil harta wakaf di bank-bank islam. Bahkan Badan Wakaf turut berpartisipasi mendirikan bank-bank Islam, bekerja sama dengan beberapa perusahaan, membeli saham dan obligasi perusahaan penting, di samping juga memanfaatkan lahan kosong agar produktif. Hasil pengembangan wakaf dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin, anak yatim, mengangkat kehidupan pedagang kecil dan kaum dhuafa. Dana hasil pengembangan wakaf digunakan juga untuk mendirikan masjid, sekolah dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaikan juga di negara Bangladesh, menurut Budi, wakaf dikelola oleh lembaga keuangan syariah, yakni melalui Social Investment Bank Ltd. (SIBL), dengan mengembangkan Pasar Modal Sosial (the Voluntary Capital Market). Di samping itu lembaga ini juga mengembangkan instrumen-instrumen keuangan lainnya; Waqf Properties Development Bond, Cash Waqf Deposit Certificate, Family Waqf Certificate, Mosque Community Share, Quard-e-Hasana Certificate, Zakat/Ushr Payment Certificate, Hajj Saving Certificate, dan lain-lainnya.
Bahkan di negara kapitalis, Amerika Serikat, wakaf warga muslimpun dikelola secara profesional oleh lembaga-lembaga keuangan, seperti, Kuwait Waqf Public Foundation (KAPF) yang bermarkas di New York, dan al-Manzil Islamic Financial Service bertindak sebagai advisor. Hasilnya KAPF berhasi membangun apertemen senilai 85 juta dollar di atas tanah milik Islamic Cultural Center New York.
Bagaimana halnya Indonesia? Menurut Budi lebih jauh, pemerintah pada dasarnya punya kepentingan dengan pengembangan lembaga wakaf ini, apakah melalui lembaga keuangan syariah atau tidak. Sebab lembaga ini bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan pembangunan ekonomi masyarakat. Walaupun sangat disadari bahwa pemahaman umumnya masyarakat tentang wakaf mempengaruhi terhadap kelambanan terbentuknya lembaga wakaf ini secara konkrit. Dalam pemahaman umat yang telah terpatri bertahun-tahun, wakaf hanyalah berbentuk tanah dan hanya diperuntukkan untuk rumah ibadah atau lembaga-lembaga social.
Untuk itu suatu hal yang perlu dalam pemahaman yang sama adalah,    peningkatan kekuatan ekonomi umat melalui manajemen zakat dan wakaf yang baik akan terjadi, bila dilakukan secara sinergis dan koordinatif antara lembaga yang dimiliki umat. Zakat  dan wakaf dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan SDM, seperti pemberian beasiswa bagi para pelajar, santri, dan mahasiswa dalam hal orang tua mereka termasuk dalam kategori mustahiq zakat. Singkatnya, para pengelola zakat dan wakaf harus memiliki program dan skala prioritas yang jelas. Demikian pula pelaporan (pemasukan dan pengeluaran) harus disampaikan secara terang dan jelas agar kepercayaan muzakki dan waqif  akan semakin bertambah.
D.Kesimpulan
Demikianlah makalah ini dibuat, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pemikiran dan terwujud dalam kehidupan nyata dengan dikelolanya zakat dan wakaf secara institusional dan profesional, sebagai sebuah kekuatan ekonomi umat yang selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di bawah panji-panji Islam. Agaknya pemerintah Indonesia hari ini, yang tengah kelabakan menghadapi persolan ekonomi bangsa yang masih carut marut, perlu memberikan political will secara regulatif dan dorongan-dorongan lain yang bisa mempercepat terwujudnya sistem aplikatif lembaga wakaf, di samping lembaga zakat yang sudah ada. Pemahaman dan kemauan masyarakatpun dalam mengelola zakat dan wakaf ini secara lebih berdaya guna dan berhasil guna, dapat tercapai. Sehingga kemampuan dan kekuatan ekonomi umatpun semakin meningka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar