Dilihat dalam konteks kehidupan ekonomi, umat Islam selalu
diidentikkan dengan kemiskinan. Sisi pandang seperti ini, kelihatan ada
benarnya, disaat dipandang kenyataan masyarakat miskin dunia
itu,mayoritasnya adalah umat Islam. Negara berkembang yang masih sarat
dengan kemiskinan itu, umumnya adalah negara yang berpenduduk mayoritas
muslim.
Pada hal kalau diperhatikan secara normatif, Islam sangat anti dan
menolak kemiskinan. Bahkan Islam tidak membenarkan kaum sufi yang telah
menerima konsep Manichaeisme dari Persia. Zuhud dalam idiom Islam bukan
berarti memuji kermiskinan. Karena zuhud harus dipahami sesuai dengan
maknanya yakni memiliki sesuatu dan menggunakannya secara
sederhana.(Yusuf al-Qardhawi, 1995)
Banyak ayat dan hadis memandang kemiskinan sebagai bahaya yang
menakutkan. Bahaya ini bisa mengancam individu dan masyarakat, akidah
dan keimanan, moral dan akhlak, pemikiran dan kebudayaan. Akan tetapi
kenapa kenyataan masyarakat Islam hari ini, bisa dalam realitas
kehidupan dan persepsi identik dengan lemiskinan seperti itu?
Di antara penyebabnya adalah karena banyak umat Islam, dalam memahami
konsep zakat, wakaf, dan sebagainya dalam perspektif yang kurang pas,
sehingga berimplikasi terhadap penerapan yang kurang proporsional dan
profesional. Untuk itu perumusan dan pemahaman tentang manajemen zakat
dan waqaf, setidaknya bagi elite tertentu, sudah merupakan suatu hal
yang seharusnya. Sehingga zakat dan waqaf ini tidak saja sebagai unsur
kewajiban sikaya yang harus dibayarkan kepada simiskin, akan tetapi
bagaimana agar dapat memberikan implikasi filosofis yang lebih jauh,
yakni kemiskinan itu sebetulnya tidak harus ada dalam konsep umat
Islam. Dengan arti kata, kalau zakat dan waqaf itu bila dimanej secara
profesional, tentunya akan menjadi sebuah kekuatan bagi ekonomi umat.
A.
Zakat dalam Konsep
Sebelum dibahas tentang manejemen zakat dan wakaf, alangkah lebih
baik diulas lebih dahulu bagaimana zakat dan wakaf itu dalam konsep.
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi penting,
strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat
termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai
hadis Nabi. Sehingga keberadaannya dianggap ma’lûm min addien bi
al-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian
mutlak dari keislaman seseorang.(Didin Hafidhuddin, 2004). Di dalam
al-Qur`ân terdapat kurang lebih 27 ayat yang menyejajarkan shalat dan
kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.
Al-Qur`ân menyatakan bah-wa kesediaan berzakat dipandang sebagai
indikator utama ketunduk-an seseorang terhadap ajaran Islam (QS. 9:5)
dan (QS.9:11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup
(QS.23:4), dan ciri mukmin yang akan mendapat-kan rahmat dan
pertolongan Allâh SWT (QS.9:73 dan QS. 22: 40-41). Kesedian berzakat
dipandang pula sebagai orang yang selalu ber-keinginan untuk
membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil,
egois, rakus, dan tamak, sekaligus berkeinginan untuk selalu
membersihkan, menyucikan, dan mengembangkan harta yang dimilikinya
(QS.9:103 dan QS.30:39).
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras
terhadap orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta
benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan
berubah menjadi azab bagi pemiliknya (QS.9:34-35). Sementara dalam
kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat menurut beberapa
hadis Nabi, harta bendanya akan hancur. Dan jika keengganan ini
memassal, maka Allâh SWT akan menurunkan berbagai azab, seperti musim
kemarau yang panjang. Atas dasar itu, sahabat Abdullah ibnu Mas’ud
menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan
shalat dan mengeluar-kan zakat. Siapa yang tidak berzakat, tidak ada
shalat baginya. Rasulullah Saw., pernah meng-hukum Tsa’labah yang
enggan berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan. Tak ada seorang
sahabatpun yang mau berhubungan dengannya, meski hanya sekedar bertegur
sapa. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad akan meme-rangi
orang-orang yang mau salat tetapi enggan untuk berzakat. Ketegasan ini
menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan,
dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai kedurhakaan
dan kemaksiatan yang lain.
Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu, karena
dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah dan manfaat yang demikian
besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahiq, harta
benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara
keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah:
Pertama, sebagai perwujud-an iman kepada Allâh SWT, mensyukuri
nikmat-Nya menum-buhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian
yang dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan
hidup, sekaligus mengembangkan dan menyucikan harta yang dimiliki
(QS.9:103, QS.30:39, QS.14:7).
Kedua, karena zakat meru-pakan hak bagi mustahiq, maka berfungsi
untuk menolong, mem-bantu dan membina mereka, terutama golongan fakir
miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga
mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah
kepada Allâh SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus
menghilangkan sifat iri, dengki, dan hasad yang mungkin timbul dari
kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya.
Zakat sesungguhnya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang
bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat akan tetapi memberikan kecukupan
dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan atau
memperkecil penyebab yang men-jadikan kehidupan mereka miskin dan
menderita.
Ketiga, sebagai pilar jama’i antara kelompok aghniyâ’ yang
berkecukupan hidupnya dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk
berjuang di jalan Allâh, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk
berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Firman Allâh
dalam QS. al-Baqarah/2:273.
للفقراء الذين احصروا في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الارض يحسبهم
الجاهل أغنياء من التعفف تعر فهم بسيمهم لا يسئلون الناس إلحافا وماتنفقوا
من خير فإن الله به عليم.{ ا لبقرة : 273}
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di
jalan Allâh mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak
tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha
Me-ngetahui”. (QS. al-Baqarah/2:273).
Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana
maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana
pendidikan, kesehatan, maupun sosial-ekonomi, dan ter-lebih lagi bagi
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
والمؤمنون والمؤمنت بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر
ويقيمون الصلوة ويؤتون الذكوة ويطيعون الله ورسوله اولئك يرحمهم الله ان
الله عزيزحكيم.{ التوبة:71}.
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allâh dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allâh, sesungguhnya Allâh
Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah/9:71).
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat
tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil
(al-Hadits). Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang
sejahtera hidupnya.
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan
salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola
dengan baik dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan pendapatan economic growth with equity. Kahf menyatakan
bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta
yang egaliter, dan sebagai akibat dari zakat harta akan selalu
beredar.
Zakat, menurut Ahmad, adalah sumber utama kas negara, sekaligus
merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Qur`ân.
Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan
pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan
mempromosikan distribusi.
Zakat juga merupakan insti-tusi yang komprehensif untuk distribusi
harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis,
saat hartanya telah sampai atau melewati nishab. Akumulasi harta
ditangan se-seorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas
dilarang Allâh SWT, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur`ân surat
al-Hasyr/59:7.
......كي لا يكون دولة بين الا غنياء منكم ... {الحثر : 7}.
“.......agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu..........”(al-Hasyr/59:7).
B.
Wakaf Tunai dalam Perspektif
Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang
potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Pembahasan ulama
dan intelektual tentang wakaf, khusus wakaf tunai, sesungguhnya telah
cukup maju, tidak hanya pada kalangan intelektual kontemporer, seperti,
Monzer Kahf, Khaled R. Al-Hajeri, Abdulkader Thomas, M.A. Mannan saja,
melainkan para ulama mazhab pun tidak luput membicarakannya. Banyak
gagasan yang mereka kemukakan sudah mengantisipasi perkembangan zaman.
Akan tetapi, sebelum dijelaskan lebih jauh, bagaimana wakaf tunai (uang)
lebih jauh, agaknya lebih baik dijelaskan terlebih dahulu syarat-syarat
benda yang diwakafkan menurut ulama fikih, yakni; pertama, harta yang
diwakafkan itu harus jelas wujudnya, agar terjamin kepastian hukum dan
hak orang yang menerimanya. Kedua, benda tersebut harus punya nilai
ekonomis, tetap/kekal zatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus oleh
mauquf alaih. Ketiga, harus milik siwaqif sepenuhnya. Bagaimana halnya
pendapat ulama mazhab tentang wakaf tunai (uang)? Ulama mazhab Maliki
misalnya, membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan, dan
membolehkan mewakafkan uang. Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali
berpendapat bahwa baik harta bergerak, seperti mobil dan hewan, maupun
harta tidak bergerak seperti rumah dan tanaman, boleh diwakafkan
(Menteri Agama RI, pada pembukaan Workshop Wakaf Produktif, Batam,
2002).
Beberapa ulama terdahulu seperti az-Zuhri (wafat tahun 124 H)
berpendapat bahwa boleh me-wakafkan dinar dan dirham. Caranya ialah
menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang)
kemudian menya-lurkan keuntungannya sebagai wakaf. Menurut Mazhab
Hanafi (Wahbah al-Zuhaily, 1997) bahwa uang yang diwakafkan dijadikan
modal usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya.
Keuntungan dari bagi hasil diberikan untuk kepentingan umum.
Meskipun beberapa ulama ada juga yang tidak menyetujui wakaf tunai
dengan uang, seperti Ali Abidin (Anwar Ibrahim, 2002). Didin (2004),
berpendapat bahwa wakaf tersebut dibenarkan dalam syariah, dengan
catatan uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara, misalnya disimpan
di Lembaga Keuangan Syariah yang amanah dan profesional. Banyak sasaran
yang bisa dicapai dengan wakaf tunai, seperti dikemukakan A. A. Mannan
(1995) yang telah berhasil mengembangkan sertifikat wakaf tunai di
Bangladesh, yaitu:
1.
Menjadikan perbankan seba-gai fasilitator untuk mencipta-kan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf.
2.
Membantu memobilisasi ta-bungan masyarakat dengan
menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang
telah meninggal dan anak-anak serta mempererat hubungan kekeluargaan
orang-orang kaya.
3.
Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal.
4.
Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama
golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari
golongan kaya.
5.
Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat.
6.
Membantu pengembangan Social Capital Market.
7.
Membantu usaha-usaha pem-bangunan bangsa secara umum
dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejah-teraan
masyarakat.
C.
Manajemen Zakat dan Wakaf
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allâh SWT yang terdapat
dalam al-Qur`ân surat at-Taubah ayat 60 yang menjelaskan tentang
kelompok yang berhak menerimanya (mustahiq) dan ayat 103 yang
menjelaskan tentang pentingnya zakat untuk diambil (dijemput) oleh para
petugas (amil) zakat. Demikian pula petunjuk yang diberikan oleh
Rasulullah SAW kepada Muadz Ibn Jabal ketika diutus ke Yaman, beliau
mengatakan:
“.....jika mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan
melak-sanakan salat, maka beritahukanlah bahwasanya Allâh SWT telah
mewajibkan zakat yang diambil dari harta mereka dan diberikan kepada
orang-orang fakirnya....”
Seperti telah dikemukakan di atas dan juga berdasarkan petunjuk
al-Qur`ân, hadis Nabi dan pelaksanaannya di zaman Khulafa’ al-Rasyidin,
bahwa pelaksanaan zakat bukanlah sekedar amal karitatif (kedermawanan),
tetapi merupakan kewajiban bersifat otoritatif (ijbari). Jadi zakat
tidaklah seperti shalat, shaum, dan ibadah haji yang pelaksanaannya
diserahkan kepada individu masing-masing (sering disebut sebagai masalah
dayyani), tetapi juga disertai keterlibatan aktif dari para petugas
yang amanat, jujur, terbuka, dan profesional yang disebut amil zakat
(sering disebut sebagai masalah qadha’i).
Pengelolaan zakat melalui lembaga amil zakat, menurut Didin (2002),
didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menjamin
kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah
diri para mustahiq apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya
dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektifitas, dan
sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas
yang ada di suatu tempat. Misalnya, apakah disalur-kan dalam bentuk
konsumtif ataukah dalam bentuk produktif untuk meningkatkan kegiatan
usaha para mustahiq. Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dan
semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.
Sebaliknya, jika penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan
kepada para muzzaki, maka nasib dan hak-hak orang miskin dan para
mustahiq lainnya terhadap orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang
pasti.
Asas operasional dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan di atas
tidak mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah
mahdhah yang harus dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan, dan
ketaqwaan seseorang kepada Allâh SWT. Demikian asas ikhlas dan sukarela
tetap dominan dalam pelaksanaan zakat sebagaimana yang berlaku pada
zaman Rasulullah SAW., Khulafa’ al-Rasyidin, dan pemerin-tahan Islam
sesudahnya. Zakat yang sudah dikumpulkan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ)
atau Badan Amil Zakat (BAZ) harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
bagi kepentingan mustahiq, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur`ân surat
at-Taubah ayat 60. karena itu LAZ harus dikelola dengan amanah,
jujur, transparan dan profesional. Dalam pasal 22 KMA Nomor 581 tahun
1999 dikemukakan bahwa LAZ yang baik memenuhi persyaratan, yaitu:
•
Berbadan hukum
•
Memiliki muzakki dan mustahiq
•
Memiliki program kerja
•
Memiliki pembukuan
•
Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit
Zakat yang dikumpulkan disalurkan langsung untuk kepentingan
mustahiq, baik yang bersifat konsumtif, sebagaimana dinyatakan dalam
al-Qur`ân surat al-Baqarah ayat 273, maupun yang bersifat produktif
sebagaimana pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan dikemukakan dalam
hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari
ayahnya bahwa Rasulullah Saw telah memberinya pemberian (zakat)
menyuruhnya untuk dikembangkan (tamawwalah) dalam kaitan itu, terdapat
pendapat yang menarik dari sebagian ulama bahwa perintah (dalam hal ini
BAZ dan LAZ yang amanah, terpercaya, dan profesional) diperbolehkan
mem-bangun perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik dan yang lainnya dari
uang zakat, untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diberikan
kepada para mustahiq dalam jumlah yang relatif besar, sehingga terpenuhi
kebutuhan mereka dengan lebih leluasa. Pengembangan usaha yang lainnya
dapat dianalogikan kepadanya. Hanya saja, dalam pelaksanaannya perlu
kesungguhan, kehati-hatian, dan kecermatan, agar jangan sampai terjadi
kerugian karena kesalahan para pengelola.
Hal yang sama dapat dilakukan pula untuk wakaf, terutama wakaf uang.
Kalau dilihat secara hsitoris, para penguasa Dinasti Abbasiyah kerap
mendorong pengembangan wakaf sebagai sumber pendapatan dan sekaligus
pembiayaan untuk pembangunan, seperti biaya pendidikan. Cara inilah yang
tetap abadi, karena tetap dilanjutkan oleh negara-negara Islam saat
ini, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki dan Yordania, melalui
lembaga-lembaga wakafnya. Wakaf bagi negara ini, tidak saja untuk biaya
pendidikan, dan kesehatan masyarakat, melainkan juga dapat membangkitkan
ekonomi masyarakat, karena menurut hemat mereka wakaf dapat dikelola
dalam bentuk saham, usaha-usaha produktif, seperti real estate,
pertanian, dsbnya, yang dikelola oleh lembaga-lembaga ekonomi yang
profesional. (Budi Setyanto, 2003).
Hanya saja di samping dikelola oleh lembaga yang amanah, menurut
Didin (2004), kerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah, seperti Bank
Syariah merupakan suatu keniscayaan. Bagaikan yang terdapat pada negara
Mesir. Badan Wakaf yang dibentuk oleh pemerintah Mesir, ,emitipkan hasil
harta wakaf di bank-bank islam. Bahkan Badan Wakaf turut berpartisipasi
mendirikan bank-bank Islam, bekerja sama dengan beberapa perusahaan,
membeli saham dan obligasi perusahaan penting, di samping juga
memanfaatkan lahan kosong agar produktif. Hasil pengembangan wakaf
dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin, anak yatim,
mengangkat kehidupan pedagang kecil dan kaum dhuafa. Dana hasil
pengembangan wakaf digunakan juga untuk mendirikan masjid, sekolah dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaikan juga di negara Bangladesh, menurut Budi, wakaf dikelola oleh
lembaga keuangan syariah, yakni melalui Social Investment Bank Ltd.
(SIBL), dengan mengembangkan Pasar Modal Sosial (the Voluntary Capital
Market). Di samping itu lembaga ini juga mengembangkan
instrumen-instrumen keuangan lainnya; Waqf Properties Development Bond,
Cash Waqf Deposit Certificate, Family Waqf Certificate, Mosque Community
Share, Quard-e-Hasana Certificate, Zakat/Ushr Payment Certificate, Hajj
Saving Certificate, dan lain-lainnya.
Bahkan di negara kapitalis, Amerika Serikat, wakaf warga muslimpun
dikelola secara profesional oleh lembaga-lembaga keuangan, seperti,
Kuwait Waqf Public Foundation (KAPF) yang bermarkas di New York, dan
al-Manzil Islamic Financial Service bertindak sebagai advisor. Hasilnya
KAPF berhasi membangun apertemen senilai 85 juta dollar di atas tanah
milik Islamic Cultural Center New York.
Bagaimana halnya Indonesia? Menurut Budi lebih jauh, pemerintah pada
dasarnya punya kepentingan dengan pengembangan lembaga wakaf ini, apakah
melalui lembaga keuangan syariah atau tidak. Sebab lembaga ini bisa
membantu pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan pembangunan ekonomi
masyarakat. Walaupun sangat disadari bahwa pemahaman umumnya masyarakat
tentang wakaf mempengaruhi terhadap kelambanan terbentuknya lembaga
wakaf ini secara konkrit. Dalam pemahaman umat yang telah terpatri
bertahun-tahun, wakaf hanyalah berbentuk tanah dan hanya diperuntukkan
untuk rumah ibadah atau lembaga-lembaga social.
Untuk itu suatu hal yang perlu dalam pemahaman yang sama adalah,
peningkatan kekuatan ekonomi umat melalui manajemen zakat dan wakaf
yang baik akan terjadi, bila dilakukan secara sinergis dan koordinatif
antara lembaga yang dimiliki umat. Zakat dan wakaf dapat pula
dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan SDM, seperti pemberian
beasiswa bagi para pelajar, santri, dan mahasiswa dalam hal orang tua
mereka termasuk dalam kategori mustahiq zakat. Singkatnya, para
pengelola zakat dan wakaf harus memiliki program dan skala prioritas
yang jelas. Demikian pula pelaporan (pemasukan dan pengeluaran) harus
disampaikan secara terang dan jelas agar kepercayaan muzakki dan waqif
akan semakin bertambah.
D.
Kesimpulan
Demikianlah makalah ini dibuat, mudah-mudahan bisa menjadi bahan
pemikiran dan terwujud dalam kehidupan nyata dengan dikelolanya zakat
dan wakaf secara institusional dan profesional, sebagai sebuah kekuatan
ekonomi umat yang selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat di bawah panji-panji Islam. Agaknya pemerintah Indonesia hari
ini, yang tengah kelabakan menghadapi persolan ekonomi bangsa yang
masih carut marut, perlu memberikan political will secara regulatif dan
dorongan-dorongan lain yang bisa mempercepat terwujudnya sistem
aplikatif lembaga wakaf, di samping lembaga zakat yang sudah ada.
Pemahaman dan kemauan masyarakatpun dalam mengelola zakat dan wakaf ini
secara lebih berdaya guna dan berhasil guna, dapat tercapai. Sehingga
kemampuan dan kekuatan ekonomi umatpun semakin meningka